Berhias dalam ajaran Islam merupakan sesuatu hal yang diperbolehkan. Dalam Islam, diajarkan cara berhias yang baik tanpa harus merugikan atau merendahkan martabat wanita itu sendiri. Ketika seorang muslimah berhias, pastinya membutuhkan produk kosmetika untuk mempercantik dan melindungi wajahnya. Adapun produk kosmetika tersebut haruslah berasal dari bahan-bahan yang halal. Oleh karena itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa no 26 Tahun 2013 Tentang Standar Kehalalan Produk Kosmetika dan Penggunaannya.
Adapun isi dari Fatwa MUI tersebut adalah sebagai berikut :
Pertimbangan Komisi Fatwa MUI dalam menentukan fatwa no 26 Tahun 2013 antara lain:
a. bahwa kosmetika telah menjadi salah satu kebutuhan manusia pada umumnya;
b. bahwa kosmetika yang akan digunakan oleh setiap muslim harus berbahan halal dan suci;
c. bahwa perkembangan teknologi telah mampu menghasilkan berbagai produk kosmetika yang menggunakan berbagai jenis bahan, serta memiliki fungsi yang beragam, yang seringkali bahannya tidak jelas apakah suci atau tidak;
d. bahwa terhadap masalah tersebut, muncul pertanyaan dari masyarakat mengenai standar kehalalan produk kosmetika dan penggunaannya;
e. bahwa oleh karena itu dipandang perlu menetapkan fatwa tentang standar kehalalan produk kosmetika dan
penggunaannya guna dijadikan pedoman.
Dasar Komisi Fatwa MUI dalam menentukan fatwa no 26 Tahun 2013 antara lain:
1. Al-Quran al-Karim
a. Firman Allah SWT tentang perintah untuk berhias serta larangan berhias yang menyerupai orang jahiliyyah, antara lain:
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias (bertabarruj) dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah” [QS. Al-Ahzaab : 33)
b. Firman Allah SWT tentang manfaat ciptaan Allah secara umum untuk kepentingan manusia, antara lain :
“Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu…” (QS. al-Baqarah [2]: 29)
“Katakanlah: ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hambaNya dan (siapakah yang mengharamkan) rezki yang baik?’ Katakanlah: ‘Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat.’ Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui” (QS. al-A`raf [7]: 32)
“Dan Dia (Allah) telah menundukkan untuk kamu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya
(sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir” (QS. al-Jasiyah [45]: 13)
c. Firman Allah SWT tentang keharusan mengkonsumsi yang halal, antara lain:
“Hai sekalian manusia! Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu” (QS. al-Baqarah [2]: 168).
“Hai orang yang beriman! Makanlah di antara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah” (QS. al-Baqarah [2]: 172)
d. Firman Allah SWT tentang beberapa jenis makanan (dan minuman) yang diharamkan, antara lain:
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika
disembelih) disebut (nama) selain Allah. Akan tetapi, barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” (QS. al-Baqarah [2]: 173).
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain
Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu memakan hewan) yang disembelih untuk berhala…” (QS. al-Ma’idah [5]: 3).
“Katakanlah: Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, darah yang mengalir, atau daging babi –karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun, Maha Penyayang” (QS. al-An’am [6]: 145).
“… dan ia (Nabi) mengharamkan bagi mereka segala yang buruk…” (QS. al-A`raf [7]: 157). Maksud buruk (khaba’its) di sini menurut ulama adalah najis.
“…Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan…” (QS. al-Baqarah [2]: 195).
2.Hadis Nabi SAW
a. Hadis-hadis Nabi berkenaan dengan kehalalan dan keharaman sesuatu yang dikonsumsi, antara lain:
“Wahai umat manusia! Sesungguhnya Allah adalah thayyib (baik), tidak akan menerima kecuali yang thayyib
(baik dan halal); dan Allah memerintahkan kepada orang beriman segala apa yang Ia perintahkan kepada para rasul. Ia berfirman, ‘Hai rasul-rasul! Makanlah dari makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan’ (QS. alMu’minun [23]: 51), dan berfiman pula, ‘Hai orang yang beriman! Makanlah di antara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu…’ (QS. al-Baqarah [2]: 172).
Kemudian Nabi menceritakan seorang laki-laki yang melakukan perjalanan panjang, rambutnya acak-acakan, dan badannya berlumur debu. Sambil menengadahkan tangan ke langit ia berdoa, ‘Ya Tuhan, Ya Tuhan…’ (Berdoa dalam perjalanan, apalagi dengan kondisi seperti itu, pada umumnya dikabulkan oleh Allah-pen.). Sedangkan, makanan orang itu haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia selalu menyantap yang haram. (Nabi memberikan komentar), ‘Jika demikian halnya, bagaimana mungkin ia akan dikabulkan doanya?'” (HR.
Muslim dari Abu Hurairah).
“Yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas; dan di antara keduanya ada hal-hal yang musyta-bihat (syubhat, samar-samar, tidak jelas halal haramnya), kebanyakan manusia tidak mengetahui hukumnya. Barang siapa hati-hati dari perkara syubhat, sungguh ia telah menyelamatkan agama dan harga dirinya…” (HR. Muslim).
“Yang halal adalah sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dalam Kitab-Nya, dan yang haram adalah apa yang diharamkan oleh Allah dalam Kitab-Nya; sedang yang tidak dijelaskan-Nya adalah yang dimaafkan” (Nail al-Authar, 8: 106).
“Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban; janganlah kamu abaikan, telah menetapkan beberapa batasan, jangalah kamu langgar, telah mengharamkan beberapa hal, janganlah kamu rusak, dan tidak menjelaskan beberapa hal sebagai kasih sayang kepadamu, bukan karena lupa, maka janganlah kamu tanya-tanya hukumnya” (HR. Daraquthni dan dinilai sahih oleh Imam Nawawi).
b. Hadis nabi saw yang menerangkan tentang dorongan untuk berhias dan menjaga kebersihan diri, antara lain:
Dari Ibn Mas’ud ra dari Nabi saw beliau bersabda: “Tidak masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat setitik
kesombongan”, kemudian salah seorng sahabat bertanya: “Seseorang suka pakainnya bagus serta sendalnya baik. Rasulullah [pun menjawab: “Allah SWT itu indah dan menyukai keindahan. Kesombongan adalah menghinakan kebenaran dan merendahkan orang lain” (HR. Imam Muslim, Ahmad, dan al-Turmudzi)
Dari Ibn ‘Abbas ra bahwa Nabi saw bersabda: “Pakailah celak dengan menggunakan itsmid, karena ia dapat memperjelas pandangan dan menumbuhkan rambut” (HR. Al-Turmudzi)
Dari Abi Hurairah ra ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak
menyemir/mewarnai (rambut), maka berbedalah kalian dengan mereka”. (HR. Imam al-Bukhari dan Imam Muslim)
Dari Jabir ibn Abdillah ra ia berkata: Pada saat Fathu Makkah, datanglah Abu Quhafaah dalam keadaan (rambut) kepala dan jenggotnya putih seperti pohon tsaghamah (yang serba putih, baik bunga maupun buahnya). Kemudian Rasulullah saw bersabda: “Ubahlah ini (rambut dan jenggot Abu Quhafah) dengan sesuatu, tetapi jauhilah warna hitam”. (HR. Imam Muslim, al-Nasa’i dan Abu Daud)
c. Hadis Nabi saw yang menerangkan soal larangan terhadap hal yang membahayakan, antara lain:
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh (pula) membahayakan orang lain” (HR. Ahmad dan
Ibn Majah dari Ibn ‘Abbas dan `Ubadah bin Shamit).
d. Hadis Nabi saw yang menegaskan adanya larangan beberapa jenis aktifitas berhias, antara lain:
Dari Abdullah ibn Mas’ud ra. Ia berkata: “Allah SWT melaknat orang-orang perempuan yang membuat tato dan
yang meminta membuat tato, memendekkan rambut, serta yang berupaya merenggangkan gigi supaya
kelihatan bagus, yang merubah ciptaan Allah. (HR. AlBukhari)
Dari Abdillah ibn ‘Abbas ra. Ia berkata: “Rasulullah saw melaknat kaum laki-laki yang menyerupakan diri dengan
perempuan, juga kaum perempuan yang menyerupakan diri dengan laki-laki” (HR. Al-Bukhari, Abu Dawud, alTurmuzi dan Ibn Majah)
3. Kaidah fiqh:
“Hukum asal sesuatu yang bermanfaat adalah boleh dan hukum asal sesuatu yang berbahaya adalah haram”.
“Hukum asal mengenai sesuatu adalah boleh selama tidak ada dalil muktabar yang mengharamkanya.”
“(Hukum) Segala sesuatu tergantung pada tujuannya”
“Hukum asal pada masalah mu’amalah adalah boleh”
“Hukum asal pada setiap yang bermanfaat adalah boleh”
“Pada wasilah (hukumnya) sebagaimana hukum pada yang ditujunya”
Komisi Fatwa MUI juga memperhatikan hal-hal berikut dalam menentukan fatwa no 26 Tahun 2013 antara lain:
1. Fatwa Musyawarah Nasional VI Majelis Ulama Indonesia Nomor: 2/MUNAS VI/MUI/2000 tentang Penggunaan Organ Tubuh, Ari-Ari, Dan Air Seni Manusia Bagi Kepentingan Obat-Obatan Dan Kosmetika
2. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: Kep-139/MUI/IV/20 Tentang Makan Dan Budidaya Cacing Dan Jangkrik;
3. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 4 Tahun 2003 tentang Standarisasi Fatwa Halal.
4. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor : 11 Tahun 2009 tentang Hukum Alkohol
5. Hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III di Padang Panjang tentang Konsumsi Makanan Halal.
6. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 30 Tahun 2011 tentang Penggunaan Plasenta Hewan Halal untuk Kosmetika dan Obat Luar
7. Pendapat, saran, dan masukan yang berkembang dalam Sidang Komisi Fatwa pada Rapat-Rapat Komisi pada tanggal 13 Juli 2013.
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT, Komisi Fatwa MUI telah menetapkan fatwa no 26 Tahun 2013 tentang Standar Kehalalan Produk Kosmetika dan Penggunaannya dengan isi sebagai berikut :
Pertama : Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan:
1. Kosmetika adalah bahan atau campuran bahan yang digunakan untuk membersihkan, menjaga, meningkatkan
penampilan, merubah penampilan, digunakan dengan cara mengoles, menempel, memercik, atau menyemprot.
2. Tahsiniyat adalah salah satu kebutuhan syar’i yang bersifat penyempurna (tertier), yang tidak sampai pada tingkat darurat ataupun hajat, yang jika tidak dipenuhi tidak akan mengancam eksistensi jiwa seseorang, serta tidak menimbulkan kecacatan.
3. Penggunaan kosmetika ada yang berfungsi sebagai obat dan ada yang berfungsi sekedar pelengkap, ada yang masuk kategori haajiyyat dan ada yang masuk kategori tahsiniyyat.
Kedua : Ketentuan Hukum
1. Penggunaan kosmetika untuk kepentingan berhias hukumnya boleh dengan syarat:
a. bahan yang digunakan adalah halal dan suci;
b. ditujukan untuk kepentingan yang dibolehkan secara syar’i; dan
c. tidak membahayakan.
2. Penggunaan kosmetika dalam (untuk dikonsumsi/masuk ke dalam tubuh) yang menggunakan bahan yang najis atau haram hukumnya haram.
3. Penggunaan kosmetika luar (tidak masuk ke dalam tubuh) yang menggunakan bahan yang najis atau haram selain babi dibolehkan dengan syarat dilakukan penyucian setelah pemakaian (tathhir syar’i).
4. Penggunaan kosmetika yang semata-mata berfungsi tahsiniyyat, tidak ada rukhshah (keringanan) untuk
memanfaatkan kosmetika yang haram.
5. Penggunaan kosmetika yang berfungsi sebagai obat memiliki ketentuan hukum sebagai obat, yang mengacu pada fatwa terkait penggunaan obat-obatan.
6. Produk kosmetika yang mengandung bahan yang dibuat dengan menggunakan mikroba hasil rekayasa genetika yang melibatkan gen babi atau gen manusia hukumnya haram.
7. Produk kosmetika yang menggunakan bahan (bahan baku, bahan aktif, dan/atau bahan tambahan) dari turunan hewan halal (berupa lemak atau lainnya) yang tidak diketahui cara penyembelihannya hukumnya makruh tahrim, sehingga harus dihindari.
8. Produk kosmetika yang menggunakan bahan dari produk mikrobial yang tidak diketahui media pertumbuhan
mikrobanya apakah dari babi, harus dihindari sampai ada kejelasan tentang kehalalan dan kesucian bahannya.
Keempat : Rekomendasi
1. Masyarakat dihimbau untuk memilih kosmetika yang suci dan halal serta menghindari penggunaan produk kosmetika yang haram dan najis, makruh tahrim dan yang menggunakan bahan yang tidak jelas kehalalan serta
kesuciannya.
2. Pemerintah mengatur dan menjamin ketersediaan kosmetika halal dan suci dengan menjadikan fatwa ini sebagai pedoman.
3. Pelaku usaha diminta untuk memastikan kesucian dan kehalalal kosmetika yang diperjualbelikan kepada umat
Islam.
4. LPPOM MUI tidak melakukan sertifikasi halal terhadap produk kosmetika yang menggunakan bahan haram dan najis, baik untuk kosmetika dalam maupun luar.
5. LPPOM MUI tidak melakukan sertifikasi halal terhadap produk kosmetika yang menggunakan bahan yang tidak jelas kehalalan dan kesuciannya, sampai ada kejelasan tentang kehalalan dan kesucian bahannya.
Kelima : Ketentuan Penutup
1. Fatwa ini berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di ke mudian hari ternyata dibutuhkan perbaikan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
2. Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.
Penulis : Nurjannah
Editor : Al Qadr