Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan berbagai fatwa terkait keuangan syariah, salah satunya mengenai deposito. Hadirnya fatwa yang ditetapkan pada 1 April 2000 ini dilatar belakangi oleh berbagai pertimbangan. Ada pun pertimbangan itu antara lain:
a. bahwa keperluan masyarakat dalam peningkatan kesejahteraan dan dalam bidang investasi, pada masa kini, memerlukan jasa perbankan; dan salah satu produk perbankan di bidang penghimpunan dana dari masyarakat adalah deposito, yaitu simpanan dana berjangka yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan bank;
b. Bahwa kegiatan deposito tidak semuanya dapat dibenarkan oleh hukum Islam (syariah);
c. Bahwa oleh karena itu, DSN MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang bentuk-bentuk muamalah syariah untuk dijadikan pedoman dalam pelaksanaan deposito pada bank syariah.
Dalam penetapan fatwa no 03/DSN-MUI/IV/2000, para pembuat fatwa mendasarkan hukum kepada beberapa sumber hukum seperti :
1. Firman Allah QS. al-Nisa’ [4]: 29:“Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu…”.
2. Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 283:
“…Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…”.
3. Firman Allah QS. al-Ma’idah [5]: 1:
“Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu …”.
4. Firman Allah QS. al-Ma’idah [5]: 2:
“dan tolong-menolonglah dalam (mengerjakan) kebajikan….”
5. Hadis Nabi riwayat al-Thabrani:
“Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya” (HR. Thabrani dari Ibnu Abbas).
6. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah:
“Nabi bersabda, ‘Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.’” (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib).
7. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi:
َ“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (HR. Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf).
8. Ijma. Diriwayatkan, sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib) harta anak yatim sebagai mudharabah dan tak ada seorang pun mengingkari mereka. Karenanya, hal itu dipandang sebagai ijma’ (Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 1989, 4/838).
9. Qiyas. Transaksi mudharabah diqiyaskan kepada transaksi musaqah.
10. Kaidah fikih:
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
11. Para ulama menyatakan, dalam kenyataan banyak orang yang mempunyai harta namun tidak mempunyai kepandaian dalam usaha memproduktifkannya, sementara itu tidak sedikit pula orang yang tidak memiliki harta namun ia mempunyai kemampuan dalam memproduktifkannya. Oleh karena itu, diperlukan adanya kerjasama di antara kedua pihak tersebut.
Berdasarkan beberapa dasar hukum di atas, DSN MUI menetapkan fatwa mengenai giro sebagai berikut:
a. Deposito ada dua jenis:
1. Deposito yang tidak dibenarkan secara syari’ah, yaitu deposito yang berdasarkan perhitungan bunga.
2. Deposito yang dibenarkan, yaitu deposito yang berdasarkan prinsip mudarabah.
b. Ketentuan Umum Deposito berdasarkan mudarabah:
1. Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul maal atau pemilik dana, dan bank bertindak sebagai mudarib atau pengelola dana.
2. Dalam kapasitasnya sebagai mudarib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak lain.
3. Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
4. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening.
5. Bank sebagai mudarib menutup biaya operasional deposito dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
6. Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.
Rep. Al Qadr
Red. Abdullah